Pages

Kamis, 08 Desember 2011

Perspektif Saya Mengenai Lari dari Blora dan Orang Samin


Mengulas mengenai film lari dari blora itu artinya sama halnya kita mengulas budaya Samin. Samin adalah komunitas yang mendiami sejumlah kawasan di daerah antara Kabupaten Pati dan Blora, Jawa Tengah. Menurut saya, budaya samin sangatlah unik. Mengapa demikian? Karena disatu sisi budaya ini sangatlah menjunjung tinggi nilai-nilai keagaman dan social tetapi disisi lain budaya ini juga menghilangkan sebagian dari nilai-nilai agama dan sosial itu sendiri. Misalnya mereka diajarkan untuk tidak menggangu orang lain, tidak suka bertengkar, tidak irihati, tidak suka mengambil milik orang lain,dan menghormati orang yang sedang berbicara. Disamping itu, masyarakat samin diajarkan untuk tidak bersekolah, membayar pajak, dan mereka tidak mengenal hukum perkawinan, dilarang berdagang tetapi bertani, dan menolak kapitalisme.
Saya juga merasa bingung ketika mendengar pendapat bahwa masyarakat samin terkenal sangatlah dekat dengan pemerintah, padahal seperti dalam film tersebut  bahwa masyarakat samin hidup dengan budaya eksklusif dan cendrung menghindari orang luar. Ajaran yang ada di masyarakat Samin berkembang mejadi gerakan batin yang menentang segala formalitas termasuk lembaga sekolah dan pernikahan, pembayaran pajak, administrasi negara dan hal lainnya di masyarakat yang lebih rumrah. Seperti kita ketahui bahwa masyarakat yang baik adalah masyarakat yang membayar pajak, mematuhi semua aturan-aturan pemerintah.
Orang Samin lebih mengutamakan keharmonisan hidup dan keselarasan dengan alam. Mereka percaya bahwa alam bisa membuat mereka hidup. Mereka juga tidak pernah menikah melalui kantor urusan agama (KUA) atau catatan cipil lainnya tetapi jarang sekali terjadi perceraian dalam rumah tangga yang telah mereka bangun. Itu sebabnya mengapa mereka tidak ingin ketika ada seseorang atau kelompoks yang ingin mengubah gaya hidup mereka karena mereka mempunyai alasan tersendiri.
Seperti halnya yang dilakukan oleh pak guru dalam tokoh film lari dari blora.  Kita bisa melihat bahwa perjuangan pak guru sangatlah sulit untuk mengubah perspektif masyarakat samin bahwa pendidikan tidak penting bagi mereka. Mereka hanya mementingkan sekolah kehidupan, budi pekerti, dan kerja halal tanpa perlu sekolah formal sehingga semuanya buta huruf. Sehingga masyarakat Samin terkessan sangatlah lugu dan terbelakang. Sungguh tidak adil bagi masyarakat Samin dianggap terbelakang hanya karena tidak pernah mengeyam pendidikan formal dan belum mengizinkan anak-anak mereka untuk bersekolah. Karena wong Samin mempunyai alasan tersendiri mengenai mengapa mereka tidak mengizinkan anak-anaknya bersekolah.
Namun usaha Pak guru ditentang oleh Pak Lurah yang punya prinsip, dengan tetap menjadikan budaya samin sebagai salah satu budaya multicultural di Indonesia yang memiliki ciri khas sehingga bisa bisa mengundang para peneliti, LSM, mahasiswa, dan sebagainya, yang artinya itu dapat mengundang para dana bantuan untuk pelestarian dan komunitas samin.
Walaupun demikian, dengan semangat mudanya, Pak guru tetap ingin bahwa masyarakat Samin harus bisa bersekolah. Saya sangat setuju dengan apa yang dilakukan oleh pak guru karena alasan apapun  bahwasanya pendidikan sangatlah penting bagi seluruh masyarakat, tidak terkecuali masyarakat manapun bahwasanya pendidikan sangatlah berguna dalam kehidupan. Jadi, saya sangat tidak setuju dengan tindakan Pak Lurah yang melarang masyarakat Samin untuk mengenyam pendidikan formal.
  Sebagai guru atau Intansi pendidikan, kita tidak bisa memaksakan kepada siapapun untuk mengenyam pendidikan formal karena hakikat dari pendidikan itu sendiri adalah sebagai alat bantu manusia untuk menjadi individu yang lebih baik bukan untuk mereduksi identitas suatu komunitas dengan mengabaikan cara belajar mereka sendiri.
Cara terbaik untuk mengubah perspektif masyarakat Samin mengenai pendidikan formal adalah adanya pendekatan mengenai betapa pentingnya pendidikan itu, lalu secara berlahan adanya penyesuaian kurikulum dengan pola fikir mereka dan tidak serta merta memaksakan kurikulum yang ada untuk bisa diterapkan di masyarakat Samin.

Allah SWT Tuhanku


Pernahkah kita bertanya pada diri kita masing-masing, apakah kita percaya bahwa Tuhan itu ada? Mengapa kita percaya kepada tuhan? Ketika pertanyaan diatas diajukan mungkin diantara kita ada yang yakin menjawab bahwa Tuhan itu ada, mungkin ada juga yang ragu akan keberadaannya dan sebagian lainnya juga akan ada menjawab bahwa sesungguhnya Tuhan itu tidak ada. Secara umum kebanyakan dari kita akan beranggapan Tuhan itu ada karena  ketika masih kecil, orang tua kita juga percaya bahwa Tuhan itu ada. Sehingga sampai saat ini kita percaya tuhan itu ada tanpa mempertanyakan kembali kenapa kita menganggap bahwa tuhan itu ada.
Saya percaya bahwa Tuhan itu ada bukan karena orang tua saya percaya akan keberadaan Tuhan. Mari kita kritisi fenomena yang terjadi di dunia ini. Matahari dan bulan selalu berganti menyinari bumi dengan fungsinya masing-masing, lautan yang luas menutupi sebagian daratan bumi yang memiliki keindahan dan manfaat untuk kelangsungan mahluk hidup di bumi, lalu Tuhan menciptakan mahluk yang paling sempurna yaitu manusia dan sampai sekarang belum ada ilmuan-ilmuan yang bisa membuat manusia atau setidaknya seperti manusia.
Dari sebagian fenomena diatas menunjukan bahwa segala sesuatu itu ada karena ada yang membuatnya. Siapa kiranya yang membuat matahari dan bulan ini. Siapa kiranya yang membuat lautan jika jawabannya adalah hujan. Lalu siapa yang membuat hujan tersebut? Lalu Kita bisa ada di dunia ini karena kita dibuat oleh kedua orang tua kita. Lalu siapa yang membuat keduanya? Tentu saja generasi sebelumnya. Jika dirunut terus sampai seterusnya maka kita akan menemukan bahwa manusia tidak akan pernah ada tanpa adanya laki-laki dan perempuan yang pertama. Lalu bagaimana keduanya itu bisa ada, apakah terbentuk secara sendiri? Jika mereka ada karena hasil evolusi, lalu bagaimana makhluk yang pertama kali ada terbentuk. Apakah tersusun dari molekul-molekul atom begitu saja. Jika memang seperti itu, kenapa sekarang hal itu tidak terjadi lagi? Lalu yang paling mendasar, siapa kiranya yang menciptakan materi atau molekul tersebut? Mungkin ini perlu direnungkan oleh semuanya terutama kaum atheis yang tidak mempercayai bahwa tuhan itu ada.
Pada dasarnya manusia tidak akan mengatakan sesuatu itu ada sebelum mereka melihat bahwa sesuatu itu memang ada atau adanya suatu bukti yang menyatakan sesuatu itu ada. Apakah kita akan percaya ketika ada seseorang berkata bahwa ada “ayam melahirkan burung?” Tidak mungkin. Kita tidak akan sebodoh itu mempercayainya, kenapa? Karena kita belum pernah melihatnya dan belum pernah ada bukti yang menunjukan bahwa hal itu ada. Jadi, apakah Tuhan itu benar-benar ada? Mungkin iya mungkin juga tidak. Perlu diingat bahwa sesuatu yang belum dapat dibuktikan bukan berarti tidak ada. Disinilah letak menariknya. Tinggal bagaimana kita memutuskan mau memilih percaya atau tidak percaya apakah Tuhan itu ada atau tidak. Namun saya mempercayai bahwa Tuhan itu ada. Sehingga dengan percaya bahwa Tuhan itu ada saya melakukan semua apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarangnya.
Tuhan bukan hanya sebuah nama karena Tuhan adalah sebuah keyakinan. Setiap agama memiliki Tuhan nya masing-masing. Namun saya sendiri meyakini bahwa Allah adalah Tuhan saya karena saya beragama islam. Saya tidak ingin mengkritisi agama lain karena saya sendiri tidak mengetahui agama lain selain islam. Saya meyakini Allah adalah tuhan saya karena saya pernah membaca salah satu surat dalam kitab suci al-quran yaitu "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." (QS. Al Ikhlas 1-4). Surat ini sangat meyakinkan saya bahwa Allah ada adalah Tuhan yang sesungguhnya.

Agama dan Filsafat


Menanggapi apa yang disampaikan oleh Saras Dewi dalam kuliah umam kemarin, ada beberapa hal yang ingin saya respon dalam tulisan ini. Ada beberapa pertanyaan dan pernyatan dari beberapa filosof ternama yang diangkat oleh Saras Dewi yaitu diantaranya mengapa ada penderitaan atau kesengsaraan didunia kalau memang Allah maha pengasih lagi maha penyayang?. Keberadaan agama sesungguhnya tidak kompatibel lagi dengan kompleksitas peradaban manusia. Bila dipertahankan maka ia akan terus berbenturan dengan modernisme.
Seperti yang saya ketahui bahwa hubungan agama dan filsafat sangat berbeda. Dalam ilmu  filsafat, mereka hanya menentukan suatu kebenaran berdasarkan akal saja. Mereka menggunakan akal untuk menentukan baik dan buruk berdasarkan akalnya saja. Sedangkan dari sudut pandang agama yaitu  islam, akal digunakan untuk menilai kebenaran yang datang dari Allah. Dalam ilmu filsafat, filosof-filosof berusaha untuk mencari suatu kebenaran dalam suatu fenomena misalnya spritualis dalam agama dengan barbagai pertanyaan. Mengapa ada kesengsaraan kalau memang Allah maha pengasih lagi maha penyayang? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini biasanya berasal dari kaum ateis dan orang-orang yang bukan islam yang berusaha untuk menghancurkan islam dengan cara pemikiran-pemikiran seperti itu.
Mengapa ada kesengsaraan? Mari kita berandai-andai. Andai tidak ada orang yang sengsara di dunia ini, dalam arti lain semua orang bahagia dan makmur. Dengan segala keunikan yang ada di bumi ini yang telah Allah tetapkan, adakah kemungkin dunia berjalan dengan cara ini? Jawabnya tidak mungkin. Jika semua orang makmur dan tidak punya masalah, maka sebenarnya itu adalah suatu ilusi, karena yang disebut makmur itu hanya terwujud jika ada yang namanya kesengsaraan. Mungkinkah ada kesenangan tanpa kesedihan? Tidak mungkin. Mungkinkah ada rasa kenyang tanpa lapar? Tidak mungkin. Mungkinkah hanya ada orang yang kaya tanpa ada ada kemiskinan? Tidak mungkin. Siapa yang akan menggali kubur di pemakaman umam kalau semua orang menjadi para menteri dan pengusaha kaya memiliki kesibukan yang tak henti-hentinya? Dan seterusnya. Demikianlah ketetapan Allah menciptakan alam dan segala isinya.  
Lalu sebagian orang menganggap bahwa “keberadaan agama sesungguhnya tidak kompatibel lagi dan akan terus berbenturan dengan modernism”. Agama dan ilmu pengetahuan adalah dua aspek kehidupan yang tidak bisa kita pisahkan. Seandainya kita hidup hanya dengan ilmu pengetahuan, mungkin hidup ini akan terasa bosan karena coba bayangkan di dunia ini semua orang bisa melakukan semuanya dengan menggunakan alat bantu yaitu teknologi mungkin hidup ini akan tersa bosan karena mereka menganggap semuanya sudah bisa mereka gunakan dan mereka akan merasa tidak tahu apa tujuan hidup sebenarnya dan begitu juga dengan agama.
Dari fenomena ini kita simpulkan bahwa kebahagian ataupun kesengsaran tidak lain adalah sebagai wahana untuk mengetahui siapa saja yang benar-benar taat pada Allah. Memang bodoh bagi kita jika tidak menggunakan akal kita untuk mencari kebenaran yang datang dari kekuasaan Allah? Tetapi apakah mungkin kita bisa melampaui kebesaran Allah.